Terbelenggu Ego
"kadangkala, orang yang paling mencintaimu adalah orang yang tak pernah menyatakan cinta kepadamu, karena takut kau berpaling dan memberi jarak, dan bila suatu saat pergi, kau akan menyadari bahwa dia adalah cinta yang tak kau sadari" - Kahlil Gibran
Penggalan puisi yang aku jumpai pada lembaran kertas usang yang pernah aku tulis beberapa tahun lalu ini buat ku merenung sepersekian detik. Seakan waktu terhenti dan meminta otak memutar memori belakangan ini. Tragedi menunggu kedua kali dan berakhir tanpa jawaban pasti. Sedih.
Menjalani hari masing-masing tanpa peduli apa lah kita ini. Dia dengan dunia nya, aku dengan dunia ku. Namun ada kenyamanan saat kita berbagi cerita di malam hari. Mengapa malam? Iya di malam hari ini lah otak kita meminta meluangkan sedikitnya waktu untuk saling berbagi tawa, cerita dan cin...ahsudahlah dia tak percaya bahwa cinta itu magis.
Tidak kah dia punya hati? Punya, hanya saja terlalu malu memfungsikan hati secara tepat. Dia mengagungkan, tidak, dia memiliki lebih banyak jiwa logika daripada jiwa perasa. Mengedepankan logika, bahkan lupa hati berperan dalam kehidupan, tidak, lebih tentang hubungan.
Ketika ego saling beradu, mengeluarkan segala ilmu dan tak ada yang peduli siapa yang benar diantara kita karena tak ada satu orangpun tau. Lucu.
Aku tak pernah menolak segala logika yang ia jabarkan. Aku kagum bertubi tanpa henti oleh kegilaan logika nya. Bukan juga aku mengalah untuk nya. Hanya aku beri sanggahan bahwa semua nya tak melulu dengan dan tentang logika.
Bagaimana kita bertemu? Bagaimana kita bisa sedekat ini? Bagaimana bisa kau menyuka saat awal bertegur sapa? Kau paparkan jawaban bahwa otak lah yang bekerja dan meminta. Tidak kah hati mu rasa ada yang salah? Ada yang beda saat dekat denganku? Tidak kah kau rasakan itu? Dengan segala keterbatasan aku yakinkan bahwa yang ku rasa tidak lah salah. Hanya mungkin aku tak berani berkata, begitu pun sebaliknya. Kita saling memendam rasa padahal tau bahwa itu rasa yang sama. Itu lah ego yang tak mau ngalah.
Sang malam tertawa getir melihat tingkah kita seakan dapat berkata "hai kawula muda, buanglah kesombongan ego kalian. Bicaralah bahwa kalian miliki rasa yang sama. Letakkan sedetik saja sesuatu memuakkan yang biasa kalian sebut logika. Dan kau pemuda, lihatlah dengan mata hati barangkali tersadar bahwa wanita manis ini sungguh mencintai" sembari memamerkan pelita yang menghiasi setiap inchi raga hitam nya.
Kini ratusan kilometer menjadi penghalang, kau pergi tentu dengan permisi, meninggalkan sisa bayangmu di sini, membiarkan aku mabuk kerinduan yang tak pernah berhenti. Tidak lah terlalu pedih hanya saja aku merasa sepi tak melihatmu lagi saat bertemu di hari ini. Hari dimana aku tertawa atas perjuangan mu membuat orang lain tertawa pula, kasih.
Yang ku ingin bukan lah cinta tanpa logika, hanya saja rasa lah sesuatu ini dengan hati. bukan lah hubungan tak berujung dan berakhir semu, hanya saja lelah untuk aku lebih lama menunggu. Bukan lah ingin kau pergi dan meninggalkan ku dengan sejuta harapan, hanya saja mungkin memang belum waktunya hati mu berfungsi dengan tepat.
Kita berdua adalah cinta yang tak saling kita sadari karena ego telah membiarkan rasa tumbuh tanpa pernyataan dengan pasti. Katakan padaku, apa nama nya jika ini bukan lah cinta. Jika hati tak ikut bekerja. Katakanlah padaku, aku menunggu jawaban itu saat kau pulang, menghampiri ku dan berkata "aku rindu.."
Menyentuh. Uhhh~ :')
ReplyDeletekarena logika dan cin...ahsudahlah gak terlalu akrab hubungannya (y)
ReplyDeleteKarena cinta tidak bisa ditebak dengan logika. Hanya hati yang tahu, kenapa ego harus mengekang rasanya untuk mengungkapkan cinta kepada sang pemilik hati itu sendiri.
ReplyDeleteSeperti, mencintai bayangan. Bisa terlihat, tapi tak bisa terengkuh
Semoga dia cepat kembali dan menemui mu di rumah, lalu ketika kau membuka pintu dia berkata "Aku rindu" pelukan pun tak terhindarkan.
ReplyDelete